HTI

Kebijakan ini menjadi angin segar bagi perusahaan kehutanan, khususnya di sektor Hutan Tanaman Industri (HTI), untuk mendapatkan sertifikasi FSC.

Namun, tak semudah itu. Perusahaan harus memenuhi persyaratan ketat, salah satunya adalah melakukan remediasi terhadap nilai konservasi tinggi yang rusak selama pembukaan HTI pada periode 1 Desember 1994 hingga 31 Desember 2020.

Keputusan ini juga mencakup beberapa kebijakan penting, seperti Kebijakan untuk Mengatasi Konversi (Policy to Address Conversion), Kebijakan untuk Berasosiasi, dan Prosedur Kerangka Kerja Remedi (Remedy Framework).

Langkah ini diharapkan mampu mengatasi tantangan sertifikasi pengelolaan hutan sekaligus membawa dampak positif yang luas bagi masyarakat, pemerintah, dan keberlanjutan ekosistem.

Menurut Hartono Prabowo, Direktur FSC Indonesia, kebijakan ini merupakan terobosan besar dalam mendorong keberlanjutan di sektor kehutanan.

“Dengan adanya Remedy Framework, perusahaan kehutanan dapat menunjukkan komitmen nyata mereka terhadap pemulihan lingkungan dan sosial. Proses ini penting tidak hanya untuk memastikan keberlanjutan ekosistem, tetapi juga untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan hutan yang bertanggung jawab,” ujar Hartono.

Perubahan cut-off year yang disahkan dalam Kongres FSC di Bali pada Oktober 2022 juga membuka peluang bagi perusahaan yang sebelumnya melakukan konversi hutan alam untuk memperoleh sertifikasi FSC.

“Perusahaan harus menyelesaikan pemulihan aspek lingkungan dan sosial sebagai syarat utama. Hal ini menegaskan pentingnya konsultasi yang transparan, adil, dan melibatkan semua pemangku kepentingan, baik yang skeptis maupun yang mendukung,” tambah Hartono.

Deputi Direktur Pusat Sains Kelapa Sawit INSTIPER, Dr. Agus Setyarso, turut menegaskan pentingnya keterlibatan masyarakat lokal dalam proses remediasi.

“Remediasi adalah jembatan untuk memperbaiki hubungan antara perusahaan kehutanan dengan masyarakat lokal. Dengan pendekatan partisipatif dan inklusif, kita tidak hanya memulihkan ekosistem, tetapi juga menyelesaikan sengketa sosial yang telah berlangsung lama. Ini adalah langkah penting untuk memastikan keberlanjutan hutan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” ujarnya.

Dr. Agus juga menekankan pentingnya kolaborasi sebagai fondasi keberhasilan kebijakan ini.

“Kolaborasi antara perusahaan, pemerintah, dan masyarakat adalah kunci. Dengan komunikasi yang efektif dan pelaksanaan yang konsisten, kebijakan ini dapat membawa manfaat besar bagi hutan tropis Indonesia, terutama di wilayah seperti Riau yang memiliki keanekaragaman hayati tinggi,” lanjutnya.

Ia pun menambahkan, kebijakan ini adalah momentum penting yang tidak boleh dilewatkan.

“Dengan pelibatan semua pihak, kita bisa memastikan pemulihan yang adil, transparan, dan berdampak positif, baik bagi lingkungan maupun masyarakat sekitar,” pungkasnya.

Untuk mendukung pemahaman terkait implementasi kebijakan ini, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau bekerja sama dengan PT Patala Unggul Gesang menggelar media briefing.

Acara ini menjadi wadah diskusi antara akademisi, praktisi, dan media dalam mendorong penerapan Kebijakan Remediasi FSC yang optimal.

Dengan sinergi antara berbagai pihak, diharapkan langkah ini dapat menjadi fondasi kuat bagi masa depan hutan tropis Indonesia yang lebih berkelanjutan.